Sabtu, 17 Oktober 2015

A Review Paper on Goal-Line Technology

A Review Paper on Goal-Line Technology
Prayag ShahȦ* , Rishikesh Muchhala Ȧ and Gaurang ShahȦ
ȦInformation Technology Department, DJSCOE, Vile Parle (W), Mumbai -400056, India
Accepted 15 Sept 2014, Available online 01 Oct 2014, Vol.4, No.5  (Oct 2014)

DITINJAU DARI PERSPEKTIF AKSIOLOGI.
Dunia olahraga selalu sarat dengan makna filosofis. Dalam filsafat ilmu, tidak dapat dipungkiri bahwa berfilsafat merupakan manifestasi kegiatan intelektual yang telah meletakkan dasar-dasar paradigmatik bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat ilmiah.
Olahraga adalah bagian utama dari kehidupan masyarakat dan budaya. Peserta olahraga berasal dari berbagai usia, dari yang muda hingga ke yang tua, dan dari tingkat permainan yang hanya untuk bersenang-senang dan rekreasi hingga tingkat profesional. Nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas olahraga telah menjadi keyakinan umum bahwa aktivitas olahraga sarat dengan nilai-nilai pendidikan, seperti kejujuran, sportivitas, disiplin, dan tanggung jawab. Bahkan, ada ungkapan yang sudah menjadi keyakinan sejarah dari waktu ke waktu

Kajian nilai (aksilogi) yang dipersoalkan adalah aspek penerapan sesuatu ke dalam praktik yang berkaitan dengan masalah nilai. Nilai merupakan rujukan perilaku, sesuatu yang dianggap “ luhur” dan menjadi pedoman hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam bidang keolahragaan, persoalan ini kian relevan untuk dibahas. Kecenderungan sikap dan partisipasi dalam tindakan dari sekelompok warga masyarakat, termasuk organisasi induk olahraga, yang berusaha untuk meningkatkan prestasi, membangkitkan masalah yang semakin kompleks dan mendalam. Hal itu karena nilai-nilai ideal olahraga makin luhur, di geser oleh nilai “ baru” sebagai konsekuensi dari perubahan sosial.
Kegiatan dalam keolahragaan merupakan cerminan adalam lingkup mikrokosmos dari tatanan masyarakat yang lebih luas. Nilai dalam masyarakat telah berubah, dan hal itu juga berdampak nyata ke dalam olahraga.
Di antara persoalan yang paling menonjol dewasa ini adalah penerapan fair play atau sportivitas sebagai nilai inti dalam bidang olahraga. Tantangannya muncul dalam aneka prilaku atlet, pelatih,ofisial, dan bahkan juga dari kalangan  pers. Yang lebih menonjol adalah upaya memperoleh kemenangan yang disertai dengan upaya bukan mengandalkan keunggulan teknik dan taktik. Yang diperagakan adalah gejala kekerasan dalam olahraga dan kecendrungan untuk memaksakan kehendak, seperti mencampuri keputusan wasit. Sebaliknya, wasit itu sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri di tengah-tengah, tanpa memihak, sesuai dengan fungsinya.
Bahaya terhadap fair play timbul terutama dari kesalahan arah yang ditempuh olahraga pada zaman ini. Olahraga dieksploitsi oleh politik, ideologi, dan dagang karena olahraga sangat tenar dan digemari. Bahkan sekarang ini, sejak logika politik berubah menjadi logika ekonomi, pengelolaan olahraga dengan tujuan yang bersifat komersialisasi sangat menonjol, dan bila kita tidak waspada, ancaman terhadap fair play semakin besar. Dengan demikian olahraga mengalami bahaya untuk kehilangan sifat-sifatnya yang murni. Yang semestinya olahraga berisi pertandingan yang bersifat ksatria dan membentuk kepribadian, dapat berubah menjadi perjuangan yang tidak kenal ampun, yang dikuasai oleh pikiran prestise, popularitas dan uang.
Dengan kata lain, sikap batin semacam itu, yang dapat kita sebutkan dalam istilah itikad, berisi pertimbangan moral, yang kemudian secara otomatis terjabarkan dalam perilaku. Dikaitkan dengan perkembangan akhir-akhir ini, semangat olahragawan sejati semacam itu perlu dikembangkan serta disebarluaskan. Keadaan demikian perlu disosialisasikan sejak dini, sejak seseorang mulai belajar olahraga dengan maksud untuk melindungi olahraga dari bahaya-bahaya yang mengancamnya
Revolusi teknologi utama telah memiliki efek yang sangat besar pada olahraga kontemporer selama dua puluh tahun terakhir. Oleh karena itu, penggunaan berbagai jenis teknologi telah menjadi penting dalam beberapa tahun terakhir karena fakta bahwa olahraga mengandung momen di mana ada kesalahan yang dilakukan oleh wasit dan perangkat pertandingan. Pengenalan teknologi mengenai olahraga ini dalam beberapa tahun terakhir telah membantu untuk memberantas sejumlah kesalahan ini. Jenis spesifik teknologi adalah penggunaan teknologi video dalam kaitannya dengan pengenalan potensi teknologi garis gawang dalam sepak bola.
Selaras dengan jurnal The Philosophy of Umpiring and the Introduction of Decision-Aid Technology, bahwa pengadil atau wasit yang memimpin pertandingan  olahraga yang saat ini mulai tidak mampu berdiri sendiri, baik karena kemampuan pengadil sebagai manusia biasa dan banyaknya tekanan dari luar atau dengan kata lain pergeseran nilai olahraga yang berubah dimasyarakat sekarang ini, sehingga menyebabkan rasa ketidakadilan  itu uncul dalam hasil sebuah pertandingan olahraga.
Area keolahragaan seharusnya mengajarkan sekaligus mencontohkan bagaimana manusia seharusnya berkompetisi dengan baik untuk mendapatkan hasil yang maksimal, Sebagai contoh kasus di piala dunia 2010 Inggris tidak lolos ke putaran selanjutnya karena gol tidak di sahkan olah pengadil di lapangan, karena keterbatasan indra manusia dalam memvisualisasi gol atau kejadian saat itu, menyebabkan rasa ketidak adilan muncul. Akankah nilai-nilai sportivitas sebagai hasil manisvestasi sebuah kegiatan keolahraan menjadi terdegredasi karena sebuah kejadian tersebut.
wasit sebagai pengadil dan teknologi sebagai pendukung wasit dalam pengambilan keputusan agar sebuah pertandingan tetap terjaga sportivitasnya. Dalam artian manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna akan di dukung oleh teknologi yang transparan guna mendukung sebuah filosofi sportivitas dalam berolahraga

The Philosophy of Umpiring and the Introduction of Decision-Aid Technology

The Philosophy of Umpiring and the Introduction of Decision-Aid Technology
http://www.tandfonline.com/toc/rjps20/37/2

Volume 37, Issue 2, 2010 

Journal of the Philosophy of Sport, 2010, 37, 135-146 © 2010

Human Kinetics, Inc.


      Tujuannya adalah untuk mengembangkan teori tentang hubungan antara ofisial pertandingan (baik peserta, penonton dan wasit pertandingan) dan teknologi. Jurnal ini membahas terminologi baru untuk jenis keadilan yang terlibat dalam pertandingan. peneliti berpendapat bahwa pengenalan teknologi baru harus dilakukan sedemikian rupa untuk menjaga keadilan keputusan dan keadilan yang tidak sama dengan akurasi. Keadilan terbaik disajikan dengan penggunaan terkendali teknologi baru. Dalam hal ini penempatan wasit sebagai pengadil dan teknologi sebagai pendukung wasit dalam pengambilan keputusan agar sebuah pertandingan tetap terjaga sportivitasnya, agar tidak menghilangkan nilai essensi dari sebuah olahraga.
Keterlibatan saat ini pada suatu pertandingan olahraga antara lain, pemain, wasit (perangkat pertandingan), official, penonton di stadion, pemirsa, dan televisi atau dalam kata lain teknologi informasi yang masuk ke dalam arena olahraga guna mendukung kegiatan olahraga tersebut
Wasit termasuk perangkat pertandingan
1. Ontologis otoritas: Wasit dan perangkat pertandingan diinvestasikan dengan banyak otoritas ontologis. Artinya, dengan cara biasa hal, apa yang mereka memutuskan mendefinisikan apa yang terjadi dalam contoh khusus sejauh itu mempengaruhi yang selanjutnya berlangsung dari permainan, hasil dari permainan dan cara permainan dicatat dalam arsip statistik. Apa yang dihasilkan oleh keputusan wasit selanjutnya akan mempengarui hasil pertandingan itu dan pertandingan selanjutnya, dalan pemahaman ini wasit dengan segala otoritas pengadil dilapangan berhak atas keputusan yang dikeluarkan berdasarkan pertimbangan aturan serta pengalamannya.
      Wasit profesional biasanya diberikan pelatihan khusus oleh federasi olahraga, dan keputusan mereka terus diteliti oleh badan profesional atau federasi olahraga. Dengan demikian, wasit memiliki  keterampilan khusus yang ditingkatkan dari pengalaman mewasiti, dalam artian epistemologi berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan yang telah ada.
Keadilan

Dalam pertandingan profesionalterdapat banyak unsur yang terlibat, diantaranya official, penonton di stadion, pemirsa, dan televisi. Keadilan dalam sebuah pertandingan ketika seseorang mampu atau memilih argumen bagus untuk mengasumsikan bahwa keadilan bisa dilihat dari berbagai sisi atau dengan kata lain dari berbagai pertimbangan, dalam hal ini wasit dalam pertandingan profesional punya pemahaman aturan dan pengalaman, bagaimana cara penyampaian kepada  pemain dan official ketika mereka merasa diberlakukan tidak adil
Dalam riviev artkel ini ada beberapa yang di bahas oleh peneliti: pemain, suporter, pemirsa dan televisi

Pemain: dalam kajian ontologis mereka berpengalaman dari kajian materi, pemain telah mengembangkan keilmuannya, pengalaman, kemampuan fisiologis, sosiologisnya. Suporter  dalam peranan ini sebagai pendukung, antara keberpihakan terhadap tim atau atlet yang bertanding atau hanya menikmati sebuah entertaiment dalam sebuah pertandingan olahraga,
Ada dua sisi yang dikaji suporter pendukung, dan suporter penyemarak,
Suporter pendukung dalam kajian epistemologis mereka lebih miskin  pengalaman, jarang para suporter menelaah pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan ketika tim kesayangan bertanding kalah, para suporter ini lebih menunjukkan ego sektoral keberpihakan pada satu sisi yakni tim yang mereka dukung,  disini kesadaran individu dan kesadaran sosial serta pengetahuan yang dimiliki berlaku, manakala mereka marah atas ketidak adilan wasit, atau menyalahkan sistem yang menjadi regulasi suatu pertandingan.  Akan terjadi gesekan ketika terjadi dikalangan masyarakat tradisional yang minim pendidikan atau pengetahuan.
Mereka yang berada di arena pertandingan jauh lebih minim fasilitas teknologi daripada pemirsa yang melihat dilayar kaca dengan fasilitas tanyangan ulang ketika terjadi kejadian menarik selama pertandingan.
Wasit atau perangkat pertandingan langsung harus menilai urutan hampir seketika peristiwa yang memerlukan pengolahan lebih banyak di tingkat bawah sadar daripada di tingkat sadar (reflek ;angsung pada saat kejadian apa yang harus diputuskan). Ini mengambil pengalaman dan praktek yang diperlukan untuk memahami situasi secara keseluruhan daripada untuk merakit keputusan bagian dari keterampilan memimpin wasit spesialis yang terdiri 'somatik knowledge'- taktik keterampilan diwujudkan dengan kemampuan untuk menilai situasi berlangsung cepat dalam sekejap-menjadi berlebihan.
Tayangan ulang televisi banyak menghancurkan keputusan wasit, dalam artian ini wasit saat memimpin pertandingan, punya kemampuan untuk mengambil keputusan dengan cepat berdasar kejadian yang berlangsung, pengalaman terdahulu “somatik knowledge”. Posisi teknologi dalam pertandingan guna saling mendukung semua unsur dala pertandingan. Dalam suatu pertandingan ada zona dimana biasanya dinamakan zona ketidakpastian, sebagai contok zona garis gawang. Bola dinyatakan masuk apabila bola masuk melebihi garis gawang,  dalam sebuah kasus pengamatan wasit saat bola masuk tidak di nyatakan menjadi gol. Akan tetapi para pemain melihatnya sbagai gol. Disinilah terjadi sebuah geesekan antara wasit dan pemain,  dalam hal ini teknologi berperan dalam keputusan wasit.
Dalam terminologi kami, ketika pemain menuntut tinjauan keputusan wasit itu, otoritas ontologis secara efektif ditransfer ke teknologi atau dalam istilah populernya “hawk eye”. tetapi hanya begitu lama sebagai titik dampak bola tidak dalam zona ketidakpastian pemirsa yang menonton tanyangan ulang di rumah puya argumen atau angapan tersendiri.
Pertimbangan filosofis penting adalah penyesuaian dalam pemahaman kita dari titik bantu keputusan olahraga dalam terang filsafat pertandingan mewasiti dan wasit yang telah dikembangkan di atas. Wasit pertandingan bukan tentang akurasi ini adalah tentang keadilan. Akurasi dan keadilan tidak selalu sama. Transparan ketidakadilan juga harus dihindari. Di mana teknologi baru, yang tidak mengaktifkan transparansi palsu, membuatnya sangat jelas bahwa seorang hakim manusia adalah memberikan ketidakadilan, maka otoritas ontologis harus kembali ke mesin. Artinya, mesin harus memiliki wewenang ontologis di sona luar ketidakpastian tetapi hanya di luar zona ketidakpastian. Penempatan wasit sebagai pengadil dan teknologi sebagai pendukung wasit dalam pengambilan keputusan agar sebuah pertandingan tetap terjaga sportivitasnya. Dalam artian manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna akan di dukung oleh teknologi yang transparan guna mendukung sebuah filosofi sportivitas dalam berolahraga.

Jumat, 26 Juni 2015

Hakikat Pendidikan Jasmani

Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, mahluk total, daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya.
 Pada kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas. Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih khusus lagi, penjas berkaitan dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainnya: hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya. Fokusnya pada pengaruh perkembangan fisik terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari manusia itulah yang menjadikannya unik. Tidak ada bidang tunggal lainnya seperti pendidikan jasmani yang berkepentingan dengan perkembangan total manusia.
 Per definisi, pendidikan jasmani diartikan dengan berbagai ungkapan dan kalimat. Namun esensinya sama, yang jika disimpulkan bermakna jelas, bahwa pendidikan jasmani memanfaatkan alat fisik untuk mengembangan keutuhan manusia. Dalam kaitan ini diartikan bahwa melalui fisik, aspek mental dan emosional pun turut terkembangkan, bahkan dengan penekanan yang cukup dalam. Berbeda dengan bidang lain, misalnya pendidikan moral, yang penekanannya benar-benar pada perkembangan moral, tetapi aspek fisik tidak turut terkembangkan, baik langsung maupun secara tidak langsung.
 Karena hasil-hasil kependidikan dari pendidikan jasmani tidak hanya terbatas pada manfaat penyempurnaan fisik atau tubuh semata, definisi penjas tidak hanya menunjuk pada pengertian tradisional dari aktivitas fisik. Kita harus melihat istilah pendidikan jasmani pada bidang yang lebih luas dan lebih abstrak, sebagai satu proses pembentukan kualitas pikiran dan juga tubuh.
                  
 Sungguh, pendidikan jasmani ini karenanya harus menyebabkan perbaikan dalam ‘pikiran dan tubuh’ yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian seseorang. Pendekatan holistik tubuh-jiwa ini termasuk pula penekanan pada ketiga domain kependidikan: psikomotor, kognitif, dan afektif. Dengan meminjam ungkapan Robert Gensemer, penjas diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa.” Artinya, dalam tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: Men sana in corporesano.

Kesatuan Jiwa dan Raga
Salah satu pertanyaan sulit di sepanjang jaman adalah pemisahan antara jiwa dan raga atau tubuh. Kepercayaan umum menyatakan bahwa jiwa dan raga terpisah, dengan penekanan berlebihan pada satu sisi tertentu, disebut dualisme, yang mengarah pada penghormatan lebih pada jiwa, dan menempatkan kegiatan fisik secara lebih inferior.
 Pandangan yang berbeda lahir dari filsafat monisme, yaitu suatu kepercayaan yang memenangkan kesatuan tubuh dan jiwa. Kita bisa melacak pandangan ini dari pandangan Athena Kuno, dengan konsepnya “jiwa yang baik di dalam raga yang baik.” Moto tersebut sering dipertimbangkan sebagai pernyataan ideal dari tujuan pendidikan jasmani tradisional: aktivitas fisik mengembangkan seluruh aspek dari tubuh; yaitu jiwa, tubuh, dan spirit. Tepatlah ungkapan Zeigler bahwa fokus dari bidang pendidikan jasmani adalah aktivitas fisik yang mengembangkan, bukan semata-mata aktivitas fisik itu sendiri. Selalu terdapat tujuan pengembangan manusia dalam program pendidikan jasmani.
Akan tetapi, pertanyaan nyata yang harus dikedepankan di sini bukanlah ‘apakah kita percaya terhadap konsep holistik tentang pendidikan jasmani, tetapi, apakah konsep tersebut saat ini bersifat dominan dalam masyarakat kita atau di antara pengemban tugas penjas sendiri?
 Dalam masyarakat sendiri, konsep dan kepercayaan terhadap pandangan dualisme di atas masih kuat berlaku. Bahkan termasuk juga pada sebagian besar guru penjas sendiri, barangkali pandangan demikian masih kuat mengakar, entah akibat dari kurangnya pemahaman terhadap falsafah penjas sendiri, maupun karena kuatnya kepercayaan itu. Yang pasti, masih banyak guru penjas yang sangat jauh dari menyadari terhadap peranan dan fungsi pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, sehingga proses pembelajaran penjas di sekolahnya masih lebih banyak ditekankan pada program yang berat sebelah pada aspek fisik semata-mata. Bahkan, dalam kasus Indonesia, penekanan yang berat itu masih dipandang labih baik, karena ironisnya, justru program pendidikan jasmani di kita malahan tidak ditekankan ke mana-mana. Itu karena pandangan yang sudah lebih parah, yang memandang bahwa program penjas dipandang tidak penting sama sekali.
Nilai-nilai yang dikandung penjas untuk mengembangkan manusia utuh menyeluruh, sungguh masih jauh dari kesadaran dan pengakuan masyarakat kita. Ini bersumber dan disebabkan oleh kenyataan pelaksanaan praktik penjas di lapangan. Teramat banyak kasus atau contoh di mana orang menolak manfaat atau nilai positif dari penjas dengan menunjuk pada kurang bernilai dan tidak seimbangnya program pendidikan jasmani di lapangan seperti yang dapat mereka lihat. Perbedaan atau kesenjangan antara apa yang kita percayai dan apa yang kita praktikkan (gap antara teori dan praktek) adalah sebuah duri dalam bidang pendidikan jasmani kita.
 Hubungan Pendidikan Jasmani dengan Bermain dan Olahraga
 Dalam memahami arti pendidikan jasmani, kita harus juga mempertimbangkan hubungan antara bermain (play) dan olahraga (sport), sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan membantu para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara lebih konseptual.
 Bermain pada intinya adalah aktivitas yang digunakan sebagai hiburan. Kita mengartikan bermain sebagai hiburan yang bersifat fisikal yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak harus selalu bersifat fisik. Bermain bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari bermain dapat ditemukan di dalam keduanya.
 Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif.
 Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua pihak yang terlibat.
 Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.
 Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari bermain maupun dari olahraga, tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di antara keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya, pendidikan jasmani adalah aktivitas jasmani yang memiliki tujuan kependidikan tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat fisik dalam aktivitasnya dan penjas dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku bagi bermain dan olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.
 Bermain, olahraga dan pendidikan jasmani melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk tujuan-tujuan kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan pendidikan, seperti juga olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan. Misalnya, olahraga profesional (di Amerika umumnya disebut athletics) dianggap tidak punya misi kependidikan apa-apa, tetapi tetap disebut sebagai olahraga. Olahraga dan bermain dapat eksis meskipun secara murni untuk kepentingan kesenangan, untuk kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi keduanya. Kesenangan dan pendidikan tidak harus dipisahkan secara eksklusif; keduanya dapat dan harus beriringan bersama.
Lalu bagaimana dengan rekreasi dan dansa (dance)?
 Para ahli memandang bahwa rekreasi adalah aktivitas untuk mengisi waktu senggang. Akan tetapi, rekreasi dapat pula memenuhi salah satu definisi “penggunaan berharga dari waktu luang.” Dalam pandangan itu, aktivitas diseleksi oleh individu sebagai fungsi memperbaharui ulang kondisi fisik dan jiwa, sehingga tidak berarti hanya membuang-buang waktu atau membunuh waktu. Rekreasi adalah aktivitas yang menyehatkan pada aspek fisik, mental dan sosial. Jay B. Nash menggambarkan bahwa rekreasi adalah pelengkap dari kerja, dan karenanya merupakan kebutuhan semua orang.
 Dengan demikian, penekanan dari rekreasi adalah dalam nuansa “mencipta kembali” (re-creation) orang tersebut, upaya revitalisasi tubuh dan jiwa yang terwujud karena ‘menjauh’ dari aktivitas rutin dan kondisi yang menekan dalam kehidupan sehari-hari. Landasan kependidikan dari rekreasi karenanya kini diangkat kembali, sehingga sering diistilahkan dengan pendidikan rekreasi, yang tujuan utamanya adalah mendidik orang dalam bagaimana memanfaatkan waktu senggang mereka.
 Sedangkan dansa adalah aktivitas gerak ritmis yang biasanya dilakukan dengan iringan musik, kadang dipandang sebagai sebuah alat ungkap atau ekspresi dari suatu lingkup budaya tertentu, yang pada perkembangannya digunakan untuk hiburan dan memperoleh kesenangan, di samping sebagai alat untuk menjalin komunikasi dan pergaulan, di samping sebagai kegiatan yang menyehatkan.
 Di Amerika, dansa menjadi bagian dari program pendidikan jasmani, karena dipandang sebagai alat untuk membina perbendaharaan dan pengalaman gerak anak, di samping untuk meningkatkan kebugaran jasmani serta pewarisan nilai-nilai. Meskipun menjadi bagian penjas, dansa sendiri masih dianggap sebagai cabang dari seni. Kemungkinan bahwa dansa digunakan dalam penjas terutama karena hasilnya yang mampu mengembangkan orientasi gerak tubuh. Bahkan ditengarai bahwa aspek seni dari dansa dipandang mampu mengurangi kecenderungan penjas agar tidak terlalu berorientasi kompetitif dengan memasukkan unsur estetikanya. Jadi sifatnya untuk melengkapi fungsi dan peranan penjas dalam membentuk manusia yang utuh seperti diungkap di bagian-bagian awal naskah ini.