Seorang anak selalu mencari pengakuan dari orang dewasa akan kemampuan dirinya. Dalam melakukan aktivitas olahraga, pujian yang diberikan terhadap penampilan anak dapat mengembangkan aspek psikologisnya, seperti perasaan percaya diri, kegembiraan, harga diri, pengalaman merasakan mencapai tujuan, dan pengakuan dari teman sebaya. Sebaliknya, jika anak mendapatkan pengalaman yang negatif dalam berolahraga, maka aspek psikologisnya pun dapat berkembang secara negatif. Disini penilaian diri negatif, frustrasi, agresi dan aspek negatif lain dapat terlihat dengan jelas.
Setelah anak berusia 5 tahun, mereka mulai dapat dikenalkan dengan jenis olahraga permainan yang lebih kompleks, yang melibatkan kerjasama dan
kompetisi. Namun perlu diperhatikan disini, kompetisi dimaksud haruslah tetap berada dalam konteks bermain. Untuk mulai menerapkan olahraga yang memiliki aturan formal, sebaiknya tunggu sampai anak berusia 8 atau 9 tahun.
Dalam olahraga kompetitif, pemain bukan hanya berusaha mencapai targetnya, tapi juga berusaha mencegah lawan mencapai target mereka. Hal ini melibatkan konflik langsung yang seringkali diikuti dengan agresivitas dalam usahanya mencegah lawan mencapai sukses. Dalam prosesnya, jenis olahraga yang penontonnya dapat berteriak bebas, terutama pada olahraga beregu, bisa berdampak negatif terhadap perkembangan psikososial anak, terutama jika pelatih dan orangtua tidak dapat mengendalikan emosi pada saat pertandingan berlangsung. Hal ini biasanya terjadi karena terlalu menekankan untuk mencapai kemenangan. Oleh karena itu, orang dewasa yang terlibat dalam kompetisi olahraga atlet usia dini juga perlu mendapat pengetahuan dan pendidikan tentang pembinaan olahraga usia dini.
Pemahaman tentang target realistis yang bisa dicapai atlet usia dini perlu ditekankan. Dalam olahraga usia dini, target yang harus dicapai atlet adalah menerapkan sebaik mungkin keterampilan dan kemampuan yang sudah dilatih ke dalam pertandingan. Adalah besarnya usaha dan peningkatan pribadi yang seharusnya dihargai dan menjadi target bagi setiap atlet, bukannya semata-mata mencapai kemenangan dalam pertandingan.
Tujuan pelibatan anak dalam aktivitas olahraga, hendaknya mencakup:
- Memperkenalkan anak terhadap berbagai pengalaman olahraga,
- Meningkatkan keterampilan fisik,
- Meningkatkan kemampuan propriosepsi (perabaan selektif) dan atensi
(merupakan faktor positif dalam belajar secara umum),
- Mengembangkan sosialisasi positif,
- Membangun perasaan memiliki kemampuan,
- Memupuk kepercayaan dan harga diri.
Untuk mendapatkan efek positif terhadap perkembangan psikologis dan sosialisasi anak, maka olahraga perlu diprogramkan dan disupervisi secara baik, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Menciptakan latihan yang aman meskipun beresiko,
- Memperhatikan pencapaian kepuasan akan penampilan,
- Membangun perasaan agar bekerja mencapai target yang ditentukan,
- Menetapkan peran spesifik individu,
- Menerapkan kepedulian terhadap peraturan permainan, serupa dengan terhadap
peraturan sosial
- Menghargai dan menghormati lawan,
- Mempromosikan latihan olahraga yang teratur dan berjangka panjang untuk memelihara kesegaran jasmani.
Perlu juga diperlihatkan bukti-bukti kepada anak bahwa orang yang terlibat dalam olahraga dan belajar dengan baik, memiliki nilai akademis yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan aktivitas olahraga.
PERSIAPAN MENTAL PERTANDINGAN
Pada masa awal dimana orangtua, guru atau pelatih mendapatkan bahwa seorang anak memiliki minat atau bakat olahraga, maka mereka mendukungnya secara positif. Dalam masa ini, yang diperlukan anak adalah kegembiraan dalam melakukan latihan olahraga. Oleh karena itu pelatihnya tidak perlu menekankan pada penguasaan teknik atau peraturan pertandingan. Pujian atau hadiah diberikan kepada usaha yang dilakukan anak, bukan terhadap hasil akhir. Disini perlu ditanamkan perasaan “mencapai sukses” bukan hanya sebagai juara, tetapi juga sebagai partisipan. Oleh karena itu, penting sekali di masa awal ini setiap partisipan dalam suatu kejuaraan bisa mendapatkan penghargaan.
Setelah anak mulai menyenangi bahkan “keranjingan” dengan olahraga yang dilakukannya, maka motivasi dan dedikasinya untuk lebih menguasai keterampilan olahraga tersebut akan lebih meningkat. Disini diperlukan pelatih yang lebih terampil dan memiliki hubungan positif dengan anak, sehingga sang anak bisa lebih mengembangkan keterampilan olahraganya dan semakin merasakan keterikatan dengan olahraganya tersebut.
Pada saat anak mulai tertarik untuk menekuni olahraga secara lebih serius, maka dukungan moral dan pengorbanan finansial dari orangtua untuk memenuhi kebutuhan latihan olahraga sangat diperlukan. Jika kebutuhan ini terpenuhi dan prestasi anak terus meningkat, maka anak akan beralih menjadi atlet. Pada tahap ini sebagian peran orangtua sudah diambil alih oleh pelatih maupun oleh si atlet itu sendiri karena ia sudah menjadi lebih mandiri.
Sebagai atlet cilik, persiapan mental dalam menghadapi pertandingan juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Utamanya atlet perlu dibiasakan berfikir positif, diberi keyakinan bahwa dalam pertandingan nanti dirinya mampu menampilkan keterampilan yang telah dilatihnya. Untuk itu beberapa latihan keterampilan psikologis (psychological skills training) seperti latihan relaksasi, latihan konsentrasi dan latihan imajeri perlu diajarkan. Hal ini diuraikan pada bagian terakhir.
PELATIH SEBAGAI PEMBINA MENTAL ATLET
Dalam pelatihan olahraga bagi atlet usia dini, cara pelatih merancang situasi latihan, cara pelatih menetapkan sasaran, serta sikap dan perilaku pelatih dalam kepelatihannya dapat mempengaruhi partisipasi anak ke dalam olahraga. Pelatih tidak hanya berperan dalam situasi olahraga, namun seringkali juga pelatih memiliki pengaruh terhadap aspek lain dalam kehidupan si anak. Demikian
pentingnya peran pelatih dalam olahraga usia dini, karena itu pelatih sangat berperan sebagai pembina mental atlet usia dini.
Beberapa tips bagi pelatih dalam menangani atlet usia dini:
-Perlakukan setiap anak sama dengan anak lainnya. Berikan kesempatan yang sama kepada setiap anak dalam melakukan suatu aktivitas.
-Ciptakan suasana yang menggembirakan dalam berlatih maupun bertanding, sehingga minat dan motivasinya terhadap olahraga semakin meningkat.
-Bersabarlah; pada mulanya anak mungkin takut atau koordinasi motoriknya kurang, namun dengan pengarahan yang benar dan latihan
yang berulang maka anak akan belajar.
-Usahakan setiap anak dapat melakukan gerakan olahraga dengan benar, karena hal ini penting bagi perkembangan keterampilan dan rasa kebanggaannya.
-Gunakan bahasa sederhana, jelas dan dapat dimengerti oleh anak.
-Kurangi rasa takut yang mungkin dimiliki anak dengan cara mengantisipasi dan mengurangi kecemasannya. Humor biasanya efektif.
-Jelaskan dan tunjukkan gerakan keterampilan olahraga yang benar secara cermat, sehingga anak mengerti apa yang harus mereka lakukan.
-Jelaskan gerakan keterampilan baru sedikit demi sedikit, sehingga anak dapat melihat urutan gerak yang benar.
-Ingatlah bahwa jika anak melakukan kesalahan, itu adalah hal yang wajar;
dan itu berarti mereka sedang mencoba.
-Biarkan anak mengajukan pertanyaan; hal ini menunjukkan bahwa anak itu berpikir.
-Tunjukkan penghargaan terhadap anak; perlakukan mereka sedemikian rupa sehingga terkesan bahwa baik pelatih maupun yang dilatih itu sama- sama belajar.
-Bersikaplah positif dan yakinkan setiap pemain memiliki peran dalam tim, sehingga setiap anak merasa penting dan spesial.
-Rangsang anak agar mereka memiliki tokoh model; kenalkan mereka kepada tokoh-tokoh olahraga yang patut diteladani dan rangsang mereka agar memiliki minat untuk menyaksikan acara olahraga maupun menyimak berita olahraga.
Selain perlu mengetahui beberapa tips menangani atlet usia dini, pelatih pun perlu menghindari beberapa hal berikut ini:
-Hindari berteriak keras, berkata kasar atau membentak anak yang dilatih.
-Janganlah menonjolkan hal buruk seorang anak atau mengungkit-ungkit kesalahan yang
pernah dibuatnya; apalagi dilakukan di depan anak-anak lain.
-Hindari menghukum anak atas kesalahan gerak yang
dibuatnya.
Hukuman dalam hal ini akan membuat anak menarik diri atau menyerah. Jika anak membuat kesalahan gerakan, koreksi kesalahan tersebut dan demonstrasikan gerakan yang benar.
-Tidak perlu mengharapkan anak belajar dengan cepat. Kemampuan anak akan meningkat
melalui latihan yang teratur.
-Jangan mengharapkan anak bermain seperti seorang profesional. Biarkan mereka
menikmati dunia anak-anaknya sebagai bocah; mereka akan mahir secara
bertahap.
-Hindari memperolok atau mempermainkan anak. Hal ini pada anak akan berdampak
terhadap penghukuman diri sendiri.
-Tidak perlu membandingkan seorang anak dengan anak lainnya, apalagi dengan
‘jagoan’ di dalam tim.
-Janganlah mengabaikan anak kandung yang juga dilatih (walaupun dengan
tujuan menghilangkan prasangka pilih kasih). Ingatlah, setiap
anak dalam tim selalu menginginkan perhatian khusus dari pelatihnya.
-Janganlah mengkritik atau mencaci pelatih lain ataupun wasit, di hadapan anak
didik. Hal ini akan membingungkan anak dan menghambat
sportivitasnya.
-Hindari membuat latihan olahraga semata-mata sebagai kerja keras tanpa
kegembiraan. Jika anak gembira dalam latihan, maka kemungkinannya ia bertahan
dalam tim dan dalam olahraga tersebut akan lebih besar.
LATIHAN VISUALISASI UNTUK ANAK
Visualisasi atau imajeri dalam istilah psikologi olahraga merupakan suatu teknik membayangkan sesuatu di dalam pikiran yang dilakukan secara sadar dengan tujuan untuk mencapai target, mengatasi masalah, meningkatkan kewaspadaan diri, mengembangkan kreativitas dan sebagai simulasi gerakan atau kejadian. Bagi seorang anak, aktivitas visualisasi sangat mudah mereka lakukan karena dalam kehidupan bermain anak sehari-hari, mereka seringkali melakukannya sebagai khayalan.
Sebelum melakukan latihan visualisasi, anak bisa diajak untuk melakukan relaksasi terlebih dahulu, dimana anak diminta berbaring dengan mata tertutup lalu mereka diminta menarik nafas panjang dan membuang nafas secara perlahan-lahan melalui mulut. Gerakan ini bisa juga diikuti dengan gerakan tangan supaya anak tidak lekas bosan. Setelah beberapa saat, latihan dilanjutkan dengan latihan visualisasi dimana anak diminta membayangkan suatu tempat atau suatu benda yang familiar dengan mereka, misalnya kamar tidur, binatang kesayangan, boneka atau apa saja. Lalu visualisasi dialihkan kedalam konteks olahraga, misalnya anak diminta membayangkan dirinya melakukan gerakan olahraganya. Sangatlah penting mereka membayangkan hal yang positif, gerakan yang benar, dan diakhiri dengan keberhasilan dan kepuasan.
REFERENSI
Day, J. (1994). Creative visualization with children: A practical guide.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar