Posted
in e-Learning Penjas, Evaluasi, Manajemen Penjas, Motode Pengajaran, Pengertian penjas, PSIKOLOGI, Psikologi Olahraga, Psikologi Pendidikan, Sarana & Prasarana Penjas, Undang-Undang on November 12,
2007 by pojokpenjas
Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses
pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan
holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta
emosional. Pendidikan jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh,
mahluk total, daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah
kualitas fisik dan mentalnya.
Pada kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu
bidang kajian yang sungguh luas. Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak
manusia. Lebih khusus lagi, penjas berkaitan dengan hubungan antara gerak
manusia dan wilayah pendidikan lainnya: hubungan dari perkembangan tubuh-fisik
dengan pikiran dan jiwanya. Fokusnya pada pengaruh perkembangan fisik terhadap
wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari manusia itulah yang
menjadikannya unik. Tidak ada bidang tunggal lainnya seperti pendidikan jasmani
yang berkepentingan dengan perkembangan total manusia.
Per definisi, pendidikan jasmani diartikan dengan
berbagai ungkapan dan kalimat. Namun esensinya sama, yang jika disimpulkan
bermakna jelas, bahwa pendidikan jasmani memanfaatkan alat fisik untuk
mengembangan keutuhan manusia. Dalam kaitan ini diartikan bahwa melalui fisik,
aspek mental dan emosional pun turut terkembangkan, bahkan dengan penekanan
yang cukup dalam. Berbeda dengan bidang lain, misalnya pendidikan moral, yang
penekanannya benar-benar pada perkembangan moral, tetapi aspek fisik tidak
turut terkembangkan, baik langsung maupun secara tidak langsung.
Karena hasil-hasil kependidikan dari pendidikan jasmani
tidak hanya terbatas pada manfaat penyempurnaan fisik atau tubuh semata,
definisi penjas tidak hanya menunjuk pada pengertian tradisional dari aktivitas
fisik. Kita harus melihat istilah pendidikan jasmani pada bidang yang lebih
luas dan lebih abstrak, sebagai satu proses pembentukan kualitas pikiran dan
juga tubuh.
Sungguh, pendidikan jasmani ini karenanya harus
menyebabkan perbaikan dalam ‘pikiran dan tubuh’ yang mempengaruhi seluruh aspek
kehidupan harian seseorang. Pendekatan holistik tubuh-jiwa ini termasuk pula
penekanan pada ketiga domain kependidikan: psikomotor, kognitif, dan afektif.
Dengan meminjam ungkapan Robert Gensemer, penjas diistilahkan sebagai proses
menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa.” Artinya, dalam
tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan
pepatah Romawi Kuno: Men sana in corporesano.
Kesatuan Jiwa dan
Raga
Salah satu pertanyaan sulit di sepanjang jaman adalah
pemisahan antara jiwa dan raga atau tubuh. Kepercayaan umum menyatakan bahwa
jiwa dan raga terpisah, dengan penekanan berlebihan pada satu sisi tertentu,
disebut dualisme, yang mengarah pada penghormatan lebih pada jiwa, dan
menempatkan kegiatan fisik secara lebih inferior.
Pandangan yang berbeda lahir dari filsafat monisme,
yaitu suatu kepercayaan yang memenangkan kesatuan tubuh dan jiwa. Kita bisa
melacak pandangan ini dari pandangan Athena Kuno, dengan konsepnya “jiwa yang
baik di dalam raga yang baik.” Moto tersebut sering dipertimbangkan sebagai
pernyataan ideal dari tujuan pendidikan jasmani tradisional: aktivitas fisik
mengembangkan seluruh aspek dari tubuh; yaitu jiwa, tubuh, dan spirit. Tepatlah
ungkapan Zeigler bahwa fokus dari bidang pendidikan jasmani adalah aktivitas
fisik yang mengembangkan, bukan semata-mata aktivitas fisik itu sendiri. Selalu
terdapat tujuan pengembangan manusia dalam program pendidikan jasmani.
Akan tetapi, pertanyaan nyata yang harus dikedepankan di sini
bukanlah ‘apakah kita percaya terhadap konsep holistik tentang pendidikan
jasmani, tetapi, apakah konsep tersebut saat ini bersifat dominan dalam
masyarakat kita atau di antara pengemban tugas penjas sendiri?
Dalam masyarakat sendiri, konsep dan kepercayaan
terhadap pandangan dualisme di atas masih kuat berlaku. Bahkan termasuk juga
pada sebagian besar guru penjas sendiri, barangkali pandangan demikian masih
kuat mengakar, entah akibat dari kurangnya pemahaman terhadap falsafah penjas
sendiri, maupun karena kuatnya kepercayaan itu. Yang pasti, masih banyak guru
penjas yang sangat jauh dari menyadari terhadap peranan dan fungsi pendidikan
jasmani di sekolah-sekolah, sehingga proses pembelajaran penjas di sekolahnya
masih lebih banyak ditekankan pada program yang berat sebelah pada aspek fisik
semata-mata. Bahkan, dalam kasus Indonesia, penekanan yang berat itu masih
dipandang labih baik, karena ironisnya, justru program pendidikan jasmani di
kita malahan tidak ditekankan ke mana-mana. Itu karena pandangan yang sudah
lebih parah, yang memandang bahwa program penjas dipandang tidak penting sama
sekali.
Nilai-nilai yang dikandung penjas untuk mengembangkan manusia
utuh menyeluruh, sungguh masih jauh dari kesadaran dan pengakuan masyarakat
kita. Ini bersumber dan disebabkan oleh kenyataan pelaksanaan praktik penjas di
lapangan. Teramat banyak kasus atau contoh di mana orang menolak manfaat atau
nilai positif dari penjas dengan menunjuk pada kurang bernilai dan tidak
seimbangnya program pendidikan jasmani di lapangan seperti yang dapat mereka
lihat. Perbedaan atau kesenjangan antara apa yang kita percayai dan apa yang
kita praktikkan (gap antara teori dan praktek) adalah sebuah duri dalam bidang
pendidikan jasmani kita.
Hubungan
Pendidikan Jasmani dengan Bermain dan Olahraga
Dalam memahami arti pendidikan jasmani, kita harus juga
mempertimbangkan hubungan antara bermain (play) dan olahraga (sport), sebagai
istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering digunakan dalam konteks
kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan membantu para guru atau
masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara lebih
konseptual.
Bermain pada intinya adalah aktivitas yang digunakan
sebagai hiburan. Kita mengartikan bermain sebagai hiburan yang bersifat fisikal
yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak harus selalu bersifat fisik.
Bermain bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari
bermain dapat ditemukan di dalam keduanya.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang
terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga
semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya
lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang
lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan
aktivitas kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas
kompetitif yang terorganisir, kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah
disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa
bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik tertulis
maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan
aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung,
kecuali atas kesepakatan semua pihak yang terlibat.
Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas
kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi,
sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau
rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi
sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek
kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.
Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen
baik dari bermain maupun dari olahraga, tetapi tidak berarti hanya salah satu
saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di antara keduanya. Sebagaimana
dimengerti dari kata-katanya, pendidikan jasmani adalah aktivitas jasmani yang
memiliki tujuan kependidikan tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat fisik dalam
aktivitasnya dan penjas dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku
bagi bermain dan olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses
kependidikan.
Bermain, olahraga dan pendidikan jasmani melibatkan
bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya dapat melumat secara pas dalam konteks
pendidikan jika digunakan untuk tujuan-tujuan kependidikan. Bermain dapat
membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan pendidikan, seperti juga
olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan. Misalnya, olahraga
profesional (di Amerika umumnya disebut athletics) dianggap tidak punya misi
kependidikan apa-apa, tetapi tetap disebut sebagai olahraga. Olahraga dan
bermain dapat eksis meskipun secara murni untuk kepentingan kesenangan, untuk
kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi keduanya. Kesenangan dan
pendidikan tidak harus dipisahkan secara eksklusif; keduanya dapat dan harus
beriringan bersama.
Lalu bagaimana
dengan rekreasi dan dansa (dance)?
Para ahli memandang bahwa rekreasi adalah aktivitas
untuk mengisi waktu senggang. Akan tetapi, rekreasi dapat pula memenuhi salah
satu definisi “penggunaan berharga dari waktu luang.” Dalam pandangan itu,
aktivitas diseleksi oleh individu sebagai fungsi memperbaharui ulang kondisi
fisik dan jiwa, sehingga tidak berarti hanya membuang-buang waktu atau membunuh
waktu. Rekreasi adalah aktivitas yang menyehatkan pada aspek fisik, mental dan
sosial. Jay B. Nash menggambarkan bahwa rekreasi adalah pelengkap dari kerja,
dan karenanya merupakan kebutuhan semua orang.
Dengan demikian, penekanan dari rekreasi adalah dalam
nuansa “mencipta kembali” (re-creation) orang tersebut, upaya revitalisasi
tubuh dan jiwa yang terwujud karena ‘menjauh’ dari aktivitas rutin dan kondisi
yang menekan dalam kehidupan sehari-hari. Landasan kependidikan dari rekreasi
karenanya kini diangkat kembali, sehingga sering diistilahkan dengan pendidikan
rekreasi, yang tujuan utamanya adalah mendidik orang dalam bagaimana
memanfaatkan waktu senggang mereka.
Sedangkan dansa adalah aktivitas gerak ritmis yang
biasanya dilakukan dengan iringan musik, kadang dipandang sebagai sebuah alat
ungkap atau ekspresi dari suatu lingkup budaya tertentu, yang pada
perkembangannya digunakan untuk hiburan dan memperoleh kesenangan, di samping
sebagai alat untuk menjalin komunikasi dan pergaulan, di samping sebagai
kegiatan yang menyehatkan.
Di Amerika, dansa menjadi bagian dari program
pendidikan jasmani, karena dipandang sebagai alat untuk membina perbendaharaan
dan pengalaman gerak anak, di samping untuk meningkatkan kebugaran jasmani
serta pewarisan nilai-nilai. Meskipun menjadi bagian penjas, dansa sendiri
masih dianggap sebagai cabang dari seni. Kemungkinan bahwa dansa digunakan
dalam penjas terutama karena hasilnya yang mampu mengembangkan orientasi gerak
tubuh. Bahkan ditengarai bahwa aspek seni dari dansa dipandang mampu mengurangi
kecenderungan penjas agar tidak terlalu berorientasi kompetitif dengan
memasukkan unsur estetikanya. Jadi sifatnya untuk melengkapi fungsi dan peranan
penjas dalam membentuk manusia yang utuh seperti diungkap di bagian-bagian awal
naskah ini.